Pages

Senin, 11 November 2013

Masalah sosial "Jakarta Semakin Macet"

Jakarta Semakin Macet

JAKARTA – Kemacetan di Jakarta semakin parah. Selain mengganggu aktivitas masyarakat, fenomena macet di Ibu Kota ini juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Karena itu, harus ada solusi yang tepat untuk mengatasi kemacetan yang semakin memprihatinkan ini.
JAKARTA – Kemacetan di Jakarta semakin parah. Selain mengganggu aktivitas masyarakat, fenomena macet di Ibu Kota ini juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Karena itu, harus ada solusi yang tepat untuk mengatasi kemacetan yang semakin memprihatinkan ini.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Saleh Daulay mengatakan macet dan banjir merupakan permasalahan klasik di Jakarta. Bahkan, problem ini telah terjadi jauh sebelum Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur di DKI Jakarta. Karena itu, semestinya mereka telah mengerti persoalan tersebut.

Selanjutnya mereka segera merealisasi program penanggulangan macet dan banjir, bukan saling lempar tanggung jawab. ”Ini sudah setahun menjabat, tapi belum terlihat upaya penanggulangannya,” kata Saleh yang juga Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah kepada KORAN SINDOkemarin. Menurut dia, sudah tidak ada waktu lagi untuk saling lempar tanggung jawab mengingat waktu sudah akan memasuki musim penghujan. Kalau musim penghujan sudah datang, otomatis banjir akan menggenangi jalanan di Jakarta dan hal tersebut pasti akan memperparah kemacetan Ibu Kota yang tanpa banjir pun sudah sangat bermasalah.

”Semestinya antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dengan pemerintah pusat saling berkoordinasi untuk menyelesaikan persoalan DKI yang tak kunjung usai,” katanya. Dia mengungkapkan pemerintah pusat memang berada di wilayah DKI Jakarta. Namun, bukan berarti Jokowi dan Ahok dapat sesuka hati melempar tanggung jawab atas persoalan banjir dan macet kepada pemerintah pusat. Menurut dia, cara seperti itu bukanlah jalan keluar atas persoalan yang sudah sangat mengakar di Ibu Kota.

Dia khawatir pelemparan tanggung jawab ini akan dinilai publik sebagai ketidakmampuan Jokowi- Ahok dalam mengatasi macet dan banjir. ”Kalau susah ya bilang saja ke publik, kan bisa dicarikan solusi bersama-sama lewat diskusi ilmiah,” ujarnya. Terlebih lagi, katanya, DKI Jakarta memiliki anggaran yang besar, bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pemerintah provinsi lain di Indonesia. Anggaran tersebut bisa dimaksimalkan untuk mengatasi problem klasik di Jakarta tersebut. Jika jumlah itu belum cukup, dia menyarankan agar Pemprov DKI berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk penambahan anggaran.

”Dengan anggaran cukup banyak untuk menanggulangi banjir dan macet, saya yakin bisa,” tegasnya. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Sarman Simanjorang menyebutkan, persoalan kemacetan tentu berkorelasi dengan kerugian perekonomian. Berdasarkan data Kadin DKI yang didapatkan dari kajian Universitas Indonesia (UI), kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta ini setiap tahunnya berkisar Rp12,8 triliun. Angka itu diperkirakan akan terus bertambah tiap tahun. Hal itu dipengaruhi naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan tidak seimbangnya pertumbuhan kendaraan bermotor dengan infrastruktur jalan.

”Tahun ini pertumbuhan kendaraan itu sangat signifikan. Buktinya macet semakin lama. Apalagi kemacetan tambah parah akibat sterilisasi buswaypekan lalu,” sebutnya. Dia pun kemudian memerinci kerugian secara ekonomi akibat kemacetan tersebut. Salah satunya semakin macetnya jalan di Jakarta hanya akan membuang BBM tanpa hasil. Belum lagi dipicu semakin lamanya waktu distribusi pengiriman barang karena terjebak macet. ”Terlambatnya kedatangan suatu komoditas produksi di salah satu tempat usaha membuat produksijaditerganggu danbahkan terhenti beberapa jam,” jelasnya.

Apalagi kalau hujan, kemacetan makin parah hingga kendaraan bermotor tidak bergerak. Waktu tempuh pun bisa bertambah dua sampai tiga kali lipat dari biasanya. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada kelangsungan industri. Sarman mengungkapkan, khusus kerugian kalangan industri akibat kemacetan, beberapa hari terakhir jumlahnya sangat besar. ”Angkanya belum kami hitung. Namun jelas meningkat dan mencapai ratusan miliar,” tandasnya.

Untuk diketahui, beberapa hari terakhir Jakarta makin macet, terutama sejak Pemprov DKI bersama Polda Metro Jaya menerapkan pengenaan denda maksimal bagi yang melanggar untuk mengefektifkan sterilisasi busway. Sesuai dengan Pasal 287 Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bagi yang melanggar denda maksimalnya Rp500.000 baik sepeda motor maupun mobil. Sebelumnya, denda penerobos buswayhanya Rp50.000 untuk kendaraan roda dua dan Rp100.000 untuk kendaraan roda empat.

Kebijakan ini langsung berdampak pada kemacetan yang lebih padat di jalur reguler. Akibatnya waktu tempuh masyarakat semakin lama. Subandi, 35, warga Tanjung Barat, Jakarta Selatan, mengeluhkan waktu tempuhnya semakin lama menggunakan sepeda motor ke lokasi kerja di kawasan Tomang, Jakarta Barat. Biasanya dengan mengambil jalan Tanjung Barat ke arah Pasar Minggu dan berbelok ke Jalan Gatot Subroto, dia dapat menempuh perjalanan sekitar 40–50 menit. Namun setelah ada sterilisasi, waktu perjalanan semakin lama sampai dengan satu jam 15 menit.

”Kalau dulu tidak banyak berhenti meskipun macet. Kini macet membuat kita lama berhenti. Terutama di dekat persimpangan,” ungkap karyawan swasta ini kemarin. Keluhan serupa dirasakan Sarmawan Tole, 30, warga Kalimalang, Jakarta Timur. Menurutnya, Pemprov DKI jangan terlalu menyalahkan masyarakat masuk ke jalur bus Transjakarta atau busway. Selama ini warga memilih alternatif itu karena tidak mendapatkan kepastian pelayanan yang lebih baik dari menggunakan angkutan umum. Menggunakan transportasi publik itu selain waktu tempuhnya lama, juga tidak nyaman.

”Rasa aman di dalamnya (angkutan umum) juga kurang terjamin,” katanya. Menurut pengamat transportasi Universitas Indonesia (UI) Ellen Tangkudung, sterilisasi busway memang sudah keharusan untuk bisa memberikan jaminan waktu tempuh dari armada Transjakarta. Kebijakan itu sejatinya harus dilakukan sejak 2005 lalu. Namun hal itu baru kali ini dilakukan sehingga menambah kemacetan. Sebenarnya bus Transjakarta merupakan pilihan kendaraan umum bagi masyarakat yang menginginkan perjalanan dapat ditempuh lebih cepat.

”Ironisnya bus Transjakarta belum mampu melayani semua perjalanan masyarakat. Itu terkendala dengan jumlah armada yang belum mencukupi dan kelancaran perjalanan bus sering terhambat karena diserobot oleh pengendara non-Transjakarta,” ujarnya. Selain akibat sterilisasi buswayini, kata Ellen, kemacetan di jalur reguler Jakarta juga disebabkan angkutan umum non- Transjakarta. Angkutan umum tersebut terlalu lama ngetemdi pinggir jalan dan menurunkan penumpang tidak di pinggir jalan sehingga kendaraan di lajur tengah atau lajur kedua dan ketiga ikut terhenti.

Lebih parah lagi, angkutan umum tidak sekadar menurunkan penumpang, tetapi juga ada yang menunggu penumpang. Agar sterilisasi busway ini tidak menimbulkan kemacetan, masyarakat harus beralih ke bus Transjakarta. ”Tidak ada pilihan lain selain pindah moda. Setidaknya dengan mengganti moda perjalanan, waktu tempuh bisa lebih cepat,” ungkapnya. Dia mendesak Pemprov DKI menambah armada bus Transjakarta lebih banyak lagi dalam waktu dekat dan menambah kenyamanan bagi penumpangnya. Selama ini di Transjakarta penumpang kerap berdesak-desakan.

Pendingin ruangan bagi pengguna tidak mampu membuat rasa sejuk di dalam bus karena penumpang melebihi kapasitas. ”Jumlah bus Transjakarta jauh belum sebanding dengan kebutuhan perjalanan. Begitu juga dengan kondisinya semakin hari semakin kurang baik, kecuali armada baru yang jumlahnya tidak terlalu banyak dibanding armada lama,” terang Ellen. Di samping itu, agar kemacetan di jalur reguler tidak terlalu parah, setidaknya Dishub DKI membuat pengelolaan lampu merah di persimpangan lebih baik lagi.

Kepala Dishub DKI Udar Pristono membantah kemacetan parah terjadi akibat pengendara tidak lagi masuk ke jalur Transjakarta. Menurutnya, penyebab macet di beberapa titik terjadi aksi unjuk rasa buruh sehingga membuat jalan jadi tertutup. Aksi demo itu kendati banyak menuju arah Balai Kota DKI, mereka mengambil titik kumpul di beberapa tempat untuk menambah kekuatan massa. Lantas mereka melanjutkan perjalanan aksi ke Balai Kota DKI. Hal itulah yang menambah kemacetan.

Dia menyebutkan, dengan adanya sterilisasi busway ini, tingkat pelanggaran jauh menurun beberapa hari terakhir. Hal itu akibat adanya sosialisasi dan pemberitaan di media yang menyatakan adanya ancaman denda cukup besar bagi pelanggarnya. ”Informasi itu telah diketahui hingga pada akhirnya masyarakat memilih masuk ke jalur reguler,” ujar Pristono. Kepala Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta Pargaulan Butarbutar mengungkapkan, dengan adanya sterilisasi busway ini, jumlah rotasi bus Transjakarta jadi bertambah. Waktu tunggu penumpang di salah satu halte bus Transjakarta antarbus dapat lebih cepat dari 10 menit menjadi 5 menit.

”Cuma saja itu tidak terjadi merata di setiap koridor,” jelasnya. Kini jumlah armada bus Transjakarta yang ada sebanyak 579 unit yang terdiri atas bus gandeng dan single. Berdasarkan data survei Institut Studi Transportasi (Instran) 2010, ketika ada program sterilisasi jalur, kecepatan rata-rata Transjakarta meningkat sampai 25%. 

kiswondari/ ilham safutra/ helmi syarif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar